JAKARTA - Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Jakarta yang terletak di Jalan Merdeka Timur No. 10, Gambir, Jakarta Pusat berencana akan melakukan revitalisasi gereja.
Terkait revitalisasi yang rencananya dilakukan di Juni 2021 tersebut, Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dengan pertimbangan dari Tim Sidang Pemugaran telah menerbitkan Surat Rekomendasi Pemugaran Nomor 2109/-1.853.15 tanggal 21 April 2021 kepada pihak Gereja Immanuel Jakarta terkait Rencana Pekerjaan Revitalisasi Arsitektur & Lansekap Gereja Immanuel.
Penerbitan Surat Rekomendasi Pemugaran sendiri merupakan bagian dari upaya pelindungan bagi Bangunan Cagar Budaya, Diduga Cagar Budaya, ataupun bangunan yang berada di kawasan pemugaran agar setiap proses pemugarannya tetap sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, bahwa proses pemugaran harus didampingi arsitek yang memegang IPTB A. Maka, proses perencanaan dan desain arsitektur Revitalisasi Gereja Immanuel Jakarta dikerjakan oleh arsitek Shandy Penamanan Hasoloan Sihotang dari PT. Tri Bagan Kemitraan.
“Selaku Pengendali Teknis, Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta akan terus berupaya maksimal untuk melakukan pemugaran bangunan-bangunan Cagar Budaya dengan tetap menjaga prinsip-prinsip pelestarian, salah satunya Gereja Immanuel Jakarta. Pekerjaan ini tidak mudah, karena yang diniatkan dan dikerjakan bukan hanya fisik semata, tapi bagaimana memuliakan keberadaan Gereja Immanuel sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan perkembangan Kota Jakarta, " ujar Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, di Jakarta, Senin (2/8/2021).
Ia menambahkan, Gereja Immanuel Jakarta berstatus Cagar Budaya ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya.
Dengan dilakukannya revitalisasi tersebut, diharapkan bangunan Gereja Immanuel yang saat ini peruntukannya sebagai sarana ibadah umat Kristiani dapat meningkat baik dari segi kualitas, kenyamanan, maupun keamanan fasilitas pendukung yang berada di bangunan dan lingkungannya, sejalan dengan pelestarian nilai kesejarahan dan pemanfaatan ruang publik di sekitar bangunannya.
Dengan demikian, esensi kesakralan sebagai kesatuan bagian ruang luar dari bangunan ibadah tidak terabaikan dan berjalan seiring dengan edukasi terhadap masyarakat mengenai nilai penting Bangunan Cagar Budaya Gereja Immanuel sebagai bukti eksisting dalam rangkaian sejarah perjuangan Bangsa.
GPIB Immanuel Jakarta yang terletak di persimpangan Jalan Merdeka Timur dan Jalan Pejambon ini memiliki halaman cukup luas, bergaya arsitektur Imperial yang merupakan bagian dari Neo Klasik dan mendapat pengaruh Barok dan Rokoko pada interiornya.
Bangunan gereja berdenah lingkaran simetris dengan 4 pintu masuk, dan beratap kubah berpenutup sirap dengan cupola di puncaknya. Atap pada pedimen dan teras belakang merupakan atap perisai dengan penutup genteng. Di sekeliling dinding bagian atas bangunan gereja terdapat entablatur.
Struktur bangunan merupakan dinding pemikul yang terbuat dari susunan bata yang diplester dengan campuran kapur dan pasir. Lantai bangunan gereja dibuat lebih tinggi 3, 2 m dari halaman.
Untuk diketahui, dalam sejarah pembangunannya, Gedung Gereja Immanuel Jakarta awalnya dibangun untuk beribadat umat protestan Lutheran dan Hervormd di Batavia. Hingga awal abad ke-19, masyarakat protestan Hervomd di Batavia tidak memiliki sebuah gereja.
Selama berpuluh tahun mereka terpaksa menggunakan salah satu ruangan yang terbuat dari bambu pada sebuah Sekolah Rendah di Weltevreden, dan juga diharuskan untuk menggunakan ruang dalam sebuah gereja Portugis di kota Batavia. Karena tidak memiliki gereja sendiri, tentunya mereka merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut.
Ditambah lagi karena sebagian besar masyarakat Eropa saat itu sudah berdiam di kawasan kota yang baru (Weltevreden) dan meninggalkan kota Batavia. Umat Protestan Hervormd dan Lutheran telah sepakat untuk mempunyai sebuah gereja yang akan digunakan bersama-sama.
Sejarah Pembangunan Gereja
Pembangunan gereja tersebut dimulai pada 1834 berdasarkan rancangan dari J.H. Horst, seorang kepala kantor pegadaian dan pengukur tanah. Untuk pekerjaan merancang gereja ini, Horst mendapat imbalan sebesar f10.000, -. Dalam perkembangannya, pembangunan gereja tersebut sempat mengalami kekurangan dana karena dana kedua umat tidak mencukupi untuk pembangunan gereja tersebut.
Untuk itu pada 1838, mereka meminta agar bantuan dana dari pemerintah yang pada akhirnya diputuskan sebagai pinjaman dapat dicairkan sebelum waktunya.
Gereja Immanuel Jakarta ini dapat diselesaikan dan diresmikan pada 1839 dengan nama Willemskerk. Nama Willemskerk diberikan kepada gereja baru itu untuk menghormati Raja Willem I yang mempunyai keinginan untuk mempersatukan umat-umat Protestan agar dapat membentuk satu gereja yang berlandaskan gagasan liberal seperti persaudaraan, toleransi, dan kesamaan kedudukan.
Usaha untuk mempersatukan dua umat protestan ini tidak berhasil di Belanda, tetapi usaha tadi tidak sepenuhnya gagal di Hindia Belanda. Dengan pembangunan gereja ini, umat Protestan Lutheran dan Hervormd disatukan dalam sebuah gereja. Selain umat protestan Hervormd dan Lutheran, umat protestan Evangeli pun turut menggunakan gereja ini sebagai tempat ibadahnya.
Pada masa pendudukan Jepang, gereja ini sempat digunakan untuk menyimpan abu jenasah tentara Jepang yang gugur dalam peperangan. Pada masa tersebut, bangunan ini dikenal dengan nama Kuil Churei-do. Setelah proklamasi kemerdekaan, gereja ini dikembalikan fungsinya sebagai tempat beribadat umat kristen. Nama Willemskerk berubah menjadi Gereja Immanuel pada 1948, pada saat didirikan Gereja Protestan Indonesia Barat.